Halmahera merupakan pulau terbesar di Kepulauan Maluku. Pulau Halmahera terletak di Propinsi Maluku Utara, yang terintegrasi dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Sejarah Halmahera dekat dengan empat kesultanan pada jaman dulu yakni, Ternate, Bacan, Tidore, Jailolo. Selain dari itu, pada Perang Dunia II, Halmahera merupakan pangkalan militer Jepang yang terletak di Teluk Kaoe. Pulau Halmahera termasuk dalam gugusan pulau-pulau sekarang ini disebut kepulauan Maluku Utara. Luas wilayahnya 139.381 km2, dengan pulau-pulau besar kecil sebanyak 353 pulau. Kepulauan ini diapit oleh Samudera Pasifik di sebelah utara, Laut Halmahera di sebelah timur, Laut Seram di sebelah selatan, dan Laut Maluku di sebelah barat.
Di antara 353 pulau yang merupakan kepulauan Maluku Utara, maka pulau Halmaheralah pulau terbesar. Halmahera merupakan induk dari pulau-pulau sekelilingnya. Yang menurut etimologi bahasa Ternate, disebut Alu Ma Eira (lunas perahu). Dari istilah inilah kita kenal Halmahera, yang dulunya disebut Almaeira.
Para analis dan ahli sejarah mengakui bahwa pulau Halmahera dengan kekayaan ekologi, tanaman cengkeh, dan desa “Mamuya” serta Duma, “Desa Keheningan” telah mencetakkan sebuah makna dan peranan historis yang khas bagi pengembangan jatidiri berbangsa Indonesia. Dicatat bahwa masyarakat Halmahera pada masa abad ke-12 telah mengembangkan sebuah wawasan hidup nasionalis (jati kepribumian) dalam mengembangkan hubungan-hubungan yang bersifat terbuka diakletis dengan “imperium perdagangan” bangsa luar. Khususnya bangsa barat (Portugis dan Spanyol) sejak masa awal jaman penjajahan.
Identitas dan jatidiri kepribumian dibangun di atas dasar kesadaran akan sebuah eksistensi dan hak kehidupan yang dimiliki serta diwarisi secara sah sebagai “anak kandung” dan putra mahkota bumi Halmahera. Kesadaran eksistensi dan pengembangan jatidiri kepribumian ini ditandai dengan sikap hidupnya yang saling menerima dan saling menghargai realitas kepelbagian (pluralitas) yang dimiliki oleh setiap kawula dan ahli waris bumi Halmahera sebagai sebuah eksistensi geo-kultural dan suatu living reality yang khas. Aneka perbedaan hayati, sistem kepercayaan, heroisme kehidupan antara kelompok suku atau sub suku, kepemimpinan adat, dan strata sosialnya semuanya dianyam di dalam sebuah interaksi dan tata kehidupan yang utuh dan langgeng. Anyaman serat-serat kehidupan itu diproses dan kemudian di dalam sebuah kearifan budaya melalui proses sejarah yang penuh dinamika di bawah payung kehidupan Moloku Kie Raha. Penghayatan dan ekspresi kehidupan tersebut diperkokoh dalam falsafah kehidupannya yang khas “Marimoi ngone fo turu marimoi ua ngone fo ruru, ma out tara ngone fo jaha” (bersatu kita kuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tenggelam).
Sama dengan suku bangsa lain di Indonesia demikian pun di Halmahera terdapat tata kehidupan masyarakat yang mengatur cara pergaulan di antara sesama manusia. Tata cara kehidupan mana diterima oleh masyarakat sebagai suatu bentuk cara kehidupan yang pasti dan tidak berubah-ubah. Bentuk dan tata cara kehidupan sedemikian disebut adat-istiadat.
Kehidupan masyarakat Halmahera yang terikat oleh adat-istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka tidak mengalami perubahan pada saat agama Kristen dan Islam masuk ke Halmahera. Adat-istiadat yang tidak mengalami perubahan pada saat agama Islam dan Kristen masuk ke Halmahera yaitu masyarakat masih memegang teguh warisan dari nenek moyang mengenai setiap orang harus berusaha untuk tidak sampai menjadi pelanggar atau penyebab terjadinya suatu pelanggaran karena akibatnya sangat fatal bagi kehidupan bersama. Tidak hanya itu, masyarakat Halmahera juga beranggapan bahwa setiap pelanggaran merupakan tabu atau boboso bagi mereka, artinya kehidupan mereka terikat dengan hal tersebut sudah tentu mengekang kebebasan bergerak seseorang di masyarakat dan menjadikan setiap anggota masyarakat ditempatkan dalam bentuk kehidupan yang ditudungi ketakutan dan kekuatiran. Yang paling ditakuti oleh seluruh masyarakat Halmahera yaitu setiap pelanggaran yang menyebabkan rusaknya keselarasan itu hendaknya secepat mungkin ditindak dan diperbaiki sebelum terjadi kemurkaan para dewa. Ketiga hal inilah yang sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat Halmahera.
Pada tahun 1999 dan 2000 Halmahera merupakan tempat kekerasan antara kelompok Muslim dan Kristen yang dimulai di Ambon dan menyebar ke banyak tempat di Maluku. Dengan kondisi demikian, maka sekarang ini masyarakat Halmahera berusaha bangkit kembali dari konflik horizontal yang pernah terjadi. Hubungan yang telah rusak akibat konflik antar agama berusaha diperbaiki, guna untuk kemajuan, kesejahteraan dan keharmonisan masyarakat Halmahera akibat konflik.
Sebagai langkah konkret dalam menghindari terjadinya konflik agama tersebut kembali, maka Gereja dalam hal ini Gereja Masehi Injil di Halmahera (GMIH) terus mengupayakan rekonsiliasi untuk membangun masyarakat Halmahera yang damai dan terlepas dari konflik yang berkepanjangan. GMIH sebagai bagian dari pelayanan kasih menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat yang berusaha untuk membangun kembali kondisi di Halmahera yang lebih menghormati serta menghargai perbedaan beragama. GMIH menyadari bahwa pembinaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pemuda Gereja yang lebih bertanggung jawab dapat membangkitkan kembali kedamaian di Halmahera. Dengan kesadaran serta tanggung jawab tersebut, GMIH menjalankan tugas gerejawinya. GMIH berusaha untuk membangun serta menambah wawasan pemuda Halmahera akan pengetahuan dan pemahaman teologis, serta sudut pandang yang lebih baik. Dengan adanya generasi yang berwawasan luas serta menglobal, memungkinkan kesadaran untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan keKristenan di Halmahera.
Dengan melihat kesadaran serta tanggung jawab tersebut, maka pemuda GMIH perlu untuk diberdayakan serta menambah pengalaman baru, yang nantinya dapat diaplikasikan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat di Halmahera. Pemuda GMIH dalam usaha pemberdayaannya perlu untuk memahami perspektif kehidupan dan iman Kristen, serta perlu untuk melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat yang lainnya sebagai bagian dari pembelajaran. Dengan demikian memungkinkan untuk menghindarkan Halmahera dari konflik horizontal di kemudian hari, serta membangun kehidupan yang lebih bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai iman Kristiani di dalam generasi muda.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka perlu diadakannya suatu pembelajaran bersama untuk memaknai arti kehidupan iman dan masyarakat di luar kondisi Halmahera. Jerman, Finlandia dan Belanda sebagai negara yang juga merupakan kiblat dari pemikir-pemikir dan teolog Kristen dapat menjadi wadah pembelajaran kehidupan iman dan bermasyarakat bagi pemuda Halmahera. Keberadaan negara-negara tersebut dalam upaya membangun kedamaian dunia serta menjalankan misi keKristenan bagi bangsa lain, menjadi penting. Kondisi dan situasi negara tersebut diharapkan dapat membantu negara-negara konflik untuk mendatangkan kedamaian dalam kebersamaan. Negara-negara tersebut dapat menjadi founding yang bermakna dalam membantu menghadirkan serta memaknai kedamaian dalam pluralitas.
saran
ada baiknya jika kegiatan-Kegiatan seperti ini akan melibatkan rekan-rekan dari negara-negara yang pernah mengalami konflik, dengan tujuan untuk membagi pengalaman serta sama-sama belajar akan arti kehidupan bersama. Afrika Selatan, Myanmar dan Irlandia Utara merupakan negara-negara yang pernah bangkit dari situasi konflik. Dengan demikian mereka bukan saja hanya berbagi pengalaman, namun juga melalui interaksi dan tukar pikiran bersama pemuda dari berbagai bangsa dapat membangun, saling pengertian mengenai tantangan dan pergumulan kehidupan sebagai pemuda dalam religiusitas. Kegiatan ini akan menjalankan misi keKristenan untuk mendatangkan kedamaian bagi semua orang dengan berbagai latar belakang sosial budaya.